Saat ini perguruan tinggi di
Indonesia sudah menjamur hingga pelosok negeri, baik perguruan tinggi negeri
maupun swasta. Semua perguruan tinggi tersebut berharap dapat menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya. Mereka tak
segan-segan membuat spanduk hingga baliho yang memamerkan program-program
mereka. Semua reklame yang dibuat terlihat menarik, seolah-olah perguruan
tinggi tersebut tidak memiliki cacat sedikitpun. Tidak hanya itu, menjelang
musim panen, yaitu saat penerimaan
mahasiswa baru, banyak peruguran tinggi yang memberikan program segar. Ada dua program yang biasanya
ditawarkan oleh sebuah perguruan tinggi. Program tersebut adalah penawaran pemberian
jalur khusus masuk perguruan tinggi bagi siswa-siswa berprestasi pada
sekolah-sekolah, mulai dari sekolah ternama hingga sekolah yang ecek-ecek. Selain itu, ada juga program
jalur khusus bagi para siswa yang tidak lulus dalam tes masuk perguruan tinggi.
Pertama, menjelang Ujian Nasional
Sekolah Menengah Atas (SMA), banyak perguruan tinggi yang menyuguhkan program berupa jalur khusus masuk perguruan tinggi
tanpa tes bagi siswa-siswa berprestasi. Teknisnya, perguruan tinggi tersebut
menyaring calon mahasiswanya berdasarkan nilai raport. Jika mereka memenuhi
syarat-syarat yang diberikan oleh perguruan tinggi tersebut, maka mereka berhak
masuk ke perguruan tinggi tersebut tanpa tes. Program tersebut terlihat sangat
mulia. Siswa berprestasi dapat langsung masuk kedalam sebuah perguruan tinggi
tanpa melalui tes, artinya tidak mengeluarkan biaya yang banyak. Namun, jika
dilihat lebih teliti, apakah program tersebut gratis? Dan apakah tidak ada embel-embel mencari nama dibalik program
tersebut?
Kedua pertanyaan diatas tidaklah
mudah untuk dijawab. Pasalnya, untuk mengikuti jalur khusus bagi siswa
berprestasi, para siswa yang akan mengikuti program tersebut harus memberikan
kontribusi dengan judul biaya
registrasi, yang nominalnya telah ditentukan oleh perguruan tinggi tersebut.
Padahal tidak semua siswa yang mengikuti program tersebut dapat langsung masuk
ke perguruan tinggi yang mereka inginkan, masih ada babak penyisihan. Inilah sebuah kondisi dimana perguruan tinggi
dapat dijadikan sebagai lahan bisnis
para oknum. Mereka dapat memanfaatkan keadaan menjadi sumber pendapatan dan pengangkat derajat dengan dalih program yang mulia bagi siswa
berprestasi.
Kedua, pemberian jalur khusus bagi
siswa yang tidak lulus dalam tes ujian masuk sebuah perguruan tinggi. Program
ini sekilas memang sudah terlihat tidak
beres. Bagaimana bisa, para siswa yang jelas-jelas tidak lulus dalam tes
tetapi masih dapat masuk keperguruan tinggi yang mereka impikan. Hal ini
membenarkan peryataan bahwa uang dapat
membeli segalanya. Bagi siswa yang mampu, program ini adalah dewa penolong bagi mereka. Walaupun
tidak lulus dalam tes, mereka masih bisa menikmati kuliah di perguruan tinggi
tersebut. Apakah program ini menguntungkan kedua pihak, baik pihak perguruan
tinggi dan siswa yang mengikutinya? Tentu saja program ini menguntungkan bagi
kedua pihak tersebut. Namun, apakah program ini adil bagi siswa yang tidak
mampu?
Inilah potret kelam perguruan
tinggi yang sangat mudah menjadi lahan
bisnis bagi para oknum tertentu. Terdengar miris, namun inilah faktanya. Di
dalam jenjang pendidikan tinggi, terdapat beberapa kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi terkait dengan perdagangan
pendidikan. Tidak ada pendidikan gratis di Indonesia, apalagi untuk jenjang
perguruan tinggi,yang jelas-jelas pemerintah tidak memberikan subsidi. Lawong yang sudah jelas-jelas diberi
subsidi saja pada faktanya banyak terjadi pungutan liar.
Tidak heran jika Negara yang kaya
akan sumber daya alam ini semakin terperosok mutu pendidikannya. Ketika
pendidikan dapat diperjualbelikan, ketika masyarakat dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,
maka inilah hasilnya, mutu pendidikan tidak berangsur-angsur membaik. Dunia
pendidikan yang seharusnya membangun bangsa, justru membanting dan meremukkan
kondisi bangsa yang sudah morat-marit
ini.
Itulah wajah pendidikan Perguruan
tinggi di Indonesia yang terlihat gagah namun ternyata didalamnya terlihat
busuk. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi sarana pencetak generasi yang
dapat membangun bangsa justru merusak bangsa. Hal ini tidak dapat dibiarkan,
harus ada tindakan baik dari pemerintah dan siswa atau masyarakat yang
merupakan korbannya.
Pemerintah harus jeli dalam menilai
program-program perguruan tinggi di Indonesia. Misalnya melakukan peninjauan
dalam periode tertentu. Dengan adanya peninjauan dari pihak pemerintah,
diharapkan seluruh perguruan tinggi akan bermoral
dalam membuat sebuah program. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus perdagangan
pendidikan yang mengerikan.
Selain pemerintah, para siswa atau
masyarakat harus lebih hati-hati dalam memilih suatu program yang terlihat segar namun busuk didalamnya. Bukan suuzhon, tetapi lebih pada waspada, hal
ini untuk menghindari terjadinya perdagangan
pendidikan yang akan terjadi terus menerus jika siswa atau masyarakat tetap
membelinya.
Kita harus bekerja keras untuk
menuntaskan masalah ini. Setidaknya, kita memulai dari diri kita sendiri untuk
tidak mengonsumsi suguhan-suguhan
menarik tapi busuk dari pihak yang yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya
itu saja, kita harus menyadari bahwa mutu pendidikan bangsa ini ada ditangan
kita. Baik buruknya mutu pendidikan dan pernak-perniknya
tergantung pada kita. Jika kita semua menyadarinya, bisa dipastikan tidak aka
nada lagi perdagangan pendidikan
khususnya pada jenjang perguruan tinggi.
By: Anne
Tidak ada komentar:
Posting Komentar